Adat Jawa Prapernikah
A. Melamar.
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang perkawinan. Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6 (enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang tersebut dalam kondisi tertutup. Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan mantu regil atau tumplak punjen.
Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak
orang tua tentang perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan'
atau disebut juga 'pasok tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon
mempelai putra menyerahkan barang-barang tertntu kepada calon mempelai putri
sebagai 'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap,
sejumlah uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar
cincin'.
C. Pingitan
Saat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai
putri dilakukan 'pingitan' atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada
perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai
putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon mempelai
putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan
pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri
tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya.
D. Pasang
Tarup
Upacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan
'bleketepe' (anyaman daun kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai
putri, yang ditandai pula dengan pengadaan sesajen. Tarup adalah bangunan
darurat yang dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki
persyaratan khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian upacara
berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari
daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang memiliki
nilai-nilai simbolik.
E. Siraman.
Makna upacara ini, secara simbolis merupakan
persiapan dan pembersihan diri lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan
dirumah masing-masing. Juga merupakan media permohonan doa restu dari para
pinisepuh. Peralatan yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil
dari 7 sumur, kendi dan bokor. Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari
7 sumur, lalu dituangkan ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai
putri mengambil air 7 gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan
mengantarnya ke kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan
sungkeman kepada orangtua calon pengantin serta para pini sepuh. Siraman
dilakukan pertama kali oleh orangtua calon pengantin, dilanjutkan oleh para
pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon mempelai mempelai putri, menggunakan
kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai sembari mengucapkan, "Saiki wis
pecah pamore" ("Sekarang sudah pecah pamornya").
F. Paes/
Ngerik.
Setelah siraman, dilakukan upacara ini, yakni
sebagai lambang upaya memperindah diri secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya
baru pada tahap 'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes
selengkapnya pada saat akan dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon
mempelai putri, ditunggui oleh para ibu pini sepuh. Sembari menyaksikan paes,
para ibu memberikan restu serta memanjatkan do'a agar dalam upacara pernikahan
nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan semoga kedua mempelai nanti saat
berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi
keturunan dan rezeki.
G. Dodol Dawet.
Prosesi ini melambangkan agar dalam upacara
pernikahan yang akan dilangsungkan, diknjungi para tamu yang melimpah
bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam upacara ini, ibu calon mempelai
putri bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan dipayungi oleh bapak calon
mempelai putri, sambil mengucapkan : "Laris...laris". 'Jual dawet'
ini dilakukan dihalaman rumah. Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan
pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'.
Maknanya, 'ndulang' (menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan
menikah. Dianjurkan dengan melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas,
serta mengikat 'ayam lancur' dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan
sebagai simbol melepas sang putri yang akan mengarungi bahtera perkawinan.
Upacara berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri
dihalaman depan dan 'pasang tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu).
Maknanya adalah 'mendem sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala
yang menghadang dan dapat meraih kebahagiaan.
H. Midodareni
Ini adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai
sebagai bujang dan dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada
dua tahap upacara di kediaman calon mempelai putri. Tahap pertama,
upacara 'nyantrik', untuk meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan
hadir pada upacara pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon
mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat
untuk menghadap calon mertua.
Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon
mempelai putri sudah siap melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih'
pada esok harinya. Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias
sebagaimana layaknya. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon
mempelai putri diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat
buat persiapan upacara esok hari. Sementara para pni sepuh, keluarga dan
kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat
rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar dan selamat.
Adat jawa saat pernikahan
A. Pernikahan
Pernikahan, merupakan upacara puncak yang dilakukan
menurut keyakinan agama si calon mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa
dilangsungkan di masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk
Kristen dan Katolik, pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.
Ketika pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak
diperkenankan memakai keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah
dilangsungkan upacara adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.
B. Panggih
(Temu)
Sudah menjadi tradisi, prosesi ini
berurutan secara tetap, tapi dimungkinkan hanya dengan penambahan variasi
sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah. Diawali dengan kedatangan rombongan
mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan
keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada
ibu mertua sebagai penebus.
Upacara dilanjutkan dengan penukaran
'kembang mayang'. Konon, segala peristiwa yang menyangkut suatu formalitas
peresmian ditengah masyarakat, perlu kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon
sebagai saksi dan sebagai penjaga serta penangkal (tolak bala). Setelah
berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan,
yang bermakna bahwa setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi tahu
bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih' atau
'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra, yang
berlangsung sebagai berikut :
1. Balangan
gantal/ Sirih
Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing
menuju 'titik panggih'. Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing
mempelai saling melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah
lemparan mempelai putra diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai
putri mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih
suami terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang
suami.
2. Wijik
Mempelai putra menginjak telur ayam
hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air
kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini
malambangkan kesetiaan istri kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan
sengan hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan
suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa
betah di rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada
mempelai putra.
3. Pupuk
Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun
mempelai putra sebanyak tiga kali dengan air kembang setaman. Ini sebagai
lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari
putrinya.
4. Sinduran/
Binayang
Prosesi ini menyampirkan kain sindur
yang berwarna merah ke pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan)
oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju
pelaminan dengan iringan gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri
mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini
menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh,
penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.
5. Bobot
Timbang
Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak
mempelai putri. Mempelai putri berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra
dipaha sebelah kanan. Upacara ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai
putri. "Abot endi bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang
ibu. "Podo, podo abote," ("Sama beratnya") sahut sang
bapak. Makna dari upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan
menantu sama besar dan beratnya.
6. Guno
Koyo - Kacar-kucur
Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur'
ini melambangkan pemberian nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri.
Yakni berupa : kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan
kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang
dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah
disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur
dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan.
Adat jawa saat Kehamilan
1. Syukuran
saat seorang wanita mulai hamil .
Pada saat seorang wanita terlambat haidnya, diadakan
upacara syukuran pada hari wetonsi wanita. Weton adalah saat
lahir seseorang, berdasar Kalender Jawa. Tembung Weton berasal
dari tembung metu atau keluar, maksudnya hari lahir. Jika
dalam Kalender Masehi dikenal hari-hari Senin sampai Minggu, maka dalam
Kalender Jawa, dikenal hari-hari pasaran, yaitu Kliwon, Legi, Paing,
Pon , dan Wage . Orang yang lahir hari Jumat Kliwon, berarti weton nya
adalah Jumat Kliwon.
2. Syukuran
pada bulan ke dua, ke empat dan ke tujuh kehamilan
Syukuran bulan ke empat disebut ngupati ,
atau ngapati (dari kata papat, atau empat) , dan
syukuran bulan ke tujuh disebut mitoni (dari kata pitu atau
tujuh), tingkeban. Selain bersyukur pada Tuhan, upacara syukuran itu juga
dimaksudkan untuk mohon doa dan berbagi rasa bahagia pada saudara,
sahabat, dan tetangga. Bentuk rasa syukur, tergantung niat si empunya hajat.
Bisa cukup sederhana, dengan sekedar membagikan bubur abang-putih dan jajan
pasar pada kerabat dan tetangga; bisa juga dengan membagikan sega
gudangan , bahkan mengundang kerabat dan tetangga, dan menjamunya dengan
hidangan yang pantas. Semua upacara,selalu diawali dan diakhiri dengan doa.
Dalam hadist
dinyatakan, bahwa ruh manusia ditiupkan pada hari ke 120, atau pada umur
kehamilan empat bulan. Di beberapa tempat, tumbuh dan berkembang tradisi baru,
yaitu pengajian dan pembacaan doa pada umur kehamilan empat bulan.
3. Syukuran tingkeban
Upacara ini, biasanya dilakukan hanya pada kehamilan
yang pertama. Urutan upacaranya adalah seperti berikut.
a. Siraman calon
ibu.
Mula-mula disiapkan air yang di dalamnya
sudah diisi dengan kembang setaman . Calon ibu memakai kain
batik yang dililitkan (kemben ) pada tubuhnya..Dalam posisi duduk, calon ibu
mula-mula disirami oleh suaminya, lalu oleh orang tua dan sesepuh lainnya.
Maksud upacara ini adalah untuk mencuci semua kotoran, dan hal-hal negatif
lainnya.
b. Tlisipan endog
ayam .
Setelah siraman, calon ayah
memasukkan endog ayam (telur ayam) (kampung) di bagian dada dari kain
yang dikenakan calon ibu, lalu mengurutkannya ke bawah, sampai ke luar. Ini
melambangkan permohonan, agar bayi lahir dengan lancar dan selamat.
c. Santun
busono
Santun berarti
berganti, busono adalah pakaian. Calon ibu secara bergantian memakai
(melilitkan pada tubuh) 7 (tujuh) kain batik, yang berbeda coraknya. Ini
melambangkan, bahwa ibu calon bayi sadar, bahwa dalam membesarkan dan mendidik
anak nantinya, akan dijumpai berbagai corak kehidupan. Corak batik yang dipakai
urut, mulai dari yang terbaik sampai terjelek, yaitu 1) sidoluhur, 2)
sidomukti, 3) truntum, 4) wahyu tumurun, 5) udan riris, 6) sido asih, 7) lasem.
Setiap memakai corak kain, si calon ibu
berlaku seperti peragawati di depan para tamu. Pada saat memakai sidomukti sampai
sido asih, para tamu mengatakan “Bagus, tapi tidak cocok”, atau “Mahal tapi
tidak serasi”, tetapi pada saat memaki corak yang paling sederhana, yaitu
lasem, para tamu mengatakan:” Sederhana, tapi cocok”, “Biasa-biasa, tapi karena
yang memakai cantik, ya serasi”. Ini melambangkan, doa agar si bayi nantinya
menjadi orang yang sederhana.
Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2
di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang
harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Ada pengertian lain dari angka
7 ini yang disebut keratabasa . Angka 7, dalam Basa Jawa
disebut pitu , keratabasa daripitu-lungan (pertolongan).
d. Nyigar
klapa gading
Selanjutnya, ibu dari si calon ibu
menyerahkan kepada si calon ibu, dua butir kelapa gading, yang masing-masing
telah digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, atau Arjuna dan Sembodro. Gambar
tokoh wayang melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika laki-laki akan
setampan Dewa Kamajaya atau Arjuna, dan jika wanita secantik Dewi Ratih atau
Sembodro. Kedua dewa dan dewi ni merupakan lambang kasih sayang sejati. Oleh si
calon ibu, kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya (calon bapak), yang akan
membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian
dengan bendo . Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apa pun,
nantinya, terserah pada kekuasaan Allah.
e. Dodol
dawet lan rujak
Pada awal upacara, para tamu
diberi duwit kreweng . Kreweng adalah genting yang dipecah.
Sekarang, ada duwit kreweng yang dibuat khusus yang
ornamennya, yang dijual di pasar-pasar tradisional. Beberapa perias
penganten juga menyediakan uang kreweng ini. Kemudian, para tamu
membeli dawet dan rujak , yang melayani (menjual) adalah si
calon ibu dan calon ayah. Si calon ibu melayani pembelinya, sedang si ayah
menerima uang untuk disimpan. Jual beli dawet dengan duwit kreweng ,
melambangkan doa agar lancarlah rejeki yang akan diterima, dan niat calon
ibu dan ayah untuk bersama-sama menyimpan kekayaan.
f. Kembul
bujana
Kembul adalah bersama-sama,
sedang bujana adalah makan, maksudnya makan bersama. Lazimnya
disediakan nasi tumpeng. Ini merupakan acara akhir dari tingkeban .
Syukuran saat bayi lahir.
A. Syukuran saat bayi lahir
Dalam tradisi Islam, pada setiap bayi yang lahir,
ayahnya membisikkan adzan di telinga kanan bayi, dan iqomat di telinga kirinya.
Jadi, suara yang pertama kali didengar adalah suara illahiah.
Setelah bayi
lahir, ari-ari (plasenta) dicuci bersih, dan diamati dengan
seksama untuk memeriksa, mungkin ada bagian ari-ari yang tertinggal
di rahim (robek). Setelah itu, ari-ari dibungkus dengan kain putih,
lalu dimasukkan ke dalam kendil (periuk). Kendil diisi juga uba
rampe , yaitu: kembang setaman , minyak wangi, kunyit, garam,
jarum jahit, benang, kemiri, ikan asin, sirih yang digulung, dan alat tulis
(pensil, buku tulis). Lalu kendil ditutup, kemudian ditanam,
biasanya di depan rumah. Ada juga yang menggantung kendil itu. Setiap malam,
selama 40 hari, di atas kendil itu dinyalakan lampu minyak tanah. Sebelum dan
sesudah kendil itu ditanam, ayah si bayi memanjatkan doa.
B. Syukuran sepasaran,
selapanan, dan puputan
Syukuran sepasaran dan selapanan dilaksanakan
saat bayi berumur 5 dan 35 hari, syukuran puputan dilaksanakan pada
hari setelah tali pusar bayi lepas (putus).
Pada saat bayi puput , orang tuanya
memberi nama pada anaknya. Mestinya dipilih nama yang indah dan mengandung doa.
Biasanya, tali pusar yang putus itu dikeringkan, dibungkus kain putih, lalu
disimpan.
Di beberapa tempat, orang tua bayi
mengirimkan berkatan , yaitu makanan (nasi dan lauk pauk) di
dalam besek (sekarang doos) pada kerabat dan tetangga, disertai
secarik kertas bertuliskan nama anaknya dan permohonan doa
Dalam Islam disyariatkan pada hari ke tujuh
dilakukan potong rambut bayi, sekaligus pemberian nama. Ada juga orang tua yang
meng-aqiqahkan anaknya pada saat masih bayi.
C. Syukuran tedak siten
Tedak berarti turun,
dan siten berasal dari kata siti , yang berarti tanah.
Dalam tradisi Jawa, saat seseorang menginjakkan kakinya pada bumi, Sang Ibu
Pertiwi, untuk pertama kalinya, amatlah penting.
Upacara ini dilakukan pada saat bayi
berumur pitung lapan , atau 7 lapan, atau 7 X 35 hari, dijatuhkan
pada hari weton si bayi; jika bayi lahir pada Senin
Kliwon , maka tedak sitennya dilaksanakan pada Senin
Kliwon juga.
Uba
rampe yang disiapkan adalah:
1. Jadah
(ketan sudah dimasak, lalu ditumbuk), 7 warna, yaitu: hitam, merah, putih,
kuning, biru, hijau, dan ungu. Setiap warna, ditempatkan dalam piring kecil,
lalu ditempatkan membentuk garis lurus menuju kurungan ayam.
2. Tangga
yang dibuat dari tebu wulung (kulitnya berwarna wulung ,
ungu), dengan 9 anak tangga; tangga ini disandarkan pada kurungan ayam. Dipilih
angka 9, karena merupakan angka maksimum. Tebu wulung merupakan singkatan
‘ante ping kalbu wu juding lelung an’.
3. Kurungan
ayam, yang dihias secukupnya, di dalamnya berisi barang kebutuhan sehari-hari,
misalnya alat tulis, uang, mainan anak, dan sebagainya
4. Kembang
setaman , dimasukkan ke dalam bokor yang berisi air.
5. Beras
kuning yang dicampur uang receh (koin)
6. Tumpeng,
bubur abang putih , dan jajan pasar
Urutan
upacara adalah seperti berikut.
Dengan
dituntun ibunya (Jawa dititah atau ditetah ), si bayi
menginjakkan kaki pada jadah aneka warna, menuju tangga tebu wulung ,
langsung menaiki tangga itu. Upacara menginjak jadah aneka warna ini
melambangkan, bahwa si ibu mendidik anaknya mengarungi samudera kehidupan yang
beraneka warna; si ibu juga membimbing anaknya menaiki tangga tebu, agar
anaknya mampu meningkatkan harkat dan martabatnya..
Kurungan
ayam dibuka, si bayi dimasukkan ke dalamnya, lalu kurungan ditutup lagi.
Biarkan si bayi mengambil barang-barang atau permainan yang ada di dalamnya.
Benda apa yang diambil si bayi, dianggap apa yang menjadi cita-citanya. Jika si
bayi mengambil uang, dianggap ia akan bekerja di bank, jika mengambil alat
tulis, dianggap ia akan menjadi cerdik pandai.
Setelah
itu,bayi dimandikan atau cuci muka dengan air kembang setaman .
Beras
kuning ditaburkan, di sekitar kurungan. Para tamu boleh merebut atau mengambil
uang recehnya. Ini melambangkan, semoga setelah dewasa, si bayi mempunyai sifat
dermawan, suka memberi.
Terakhir
adalah kembul bujono.
Pada
syukuran-syukuran itu, lazimnya disajikan nasi tumpeng, bubur merah putih, dan
jajan pasar. Setelah doa, tumpeng dimakan bersama. Ada juga yang mengirimkan
nasi gudangan ke tetangga.
D. Khitanan
Khitanan
dapat dilakukan oleh juru khitan, atau dukun sunat sekarang dilakukan oleh
petugas medis (dokter), dan paramedis (mantri). Di kota-kota, dijumpai ‘khitan
center’. Khitanan dapat dilakukan di rumah, di rumah sakit, klinik, atau khitan
center. Bahkan, ada juga khitanan masal.
Ada
berbagai variasi upacara khitan; ada yang sekedar ke klinik, lalu pulang,
selesai. Ada juga yang lebih rumit; anaknya memakai pakaian kejawen (dari
blangkon sampai nyampingan), ada acara sungkeman, dan sebagainya. Kiranya,
urutan upacara dan ramainya upacara khitanan, tergantung pada orang tua si
anak.
Adat jawa tentang kematian.
A. Mati/Wafat
Demikian, sepasang pengantin itu akan
mempunyai anak, menjadi dewasa, kemudian mempunyai cucu dan meninggal dunia.
Yang menarik tapi mengundang kontraversi, adalah saat manusia mati. Sebab bagi
orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu didandani
berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang yang mendalam
keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu) yang digunakan
secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur bersama-sama dengan
mayatnya).
Sebelum mayat diberangkatkan ke alat
pengangkut (mobil misalnya), terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil
jongkok melewati bawah mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda.
Sedangkan meskipun slametan orang mati, mulai geblak (waktu matinya), pendak
siji (setahun pertama), pendak loro (tahun kedua) sampai dengan nyewu (seribu
hari/3 tahun) macamnya sama saja, yaitu sego-asahan dan segowuduk, tapi saat
nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate dan gule. Nyewu
dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang yang wafat sejauh-jauhnya
dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan datang menjenguk keluarga pada
setiap malam takbiran, dan rumah dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang
tuanya yang telah mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan
keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu giat
memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang dalam bahasa
Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang berarti selesai
berpuasanya.